Bau ramuan obat tercium dari periuk tanah di perapian. Api masih dibiarkan menyala kecil. Mungkin untuk menjaga suhu obat agar tidak cepat dingin.
Uap putih tebal dengan bau yang pekat seketika mengepul ketika tutup periuk itu dibuka. Menyelimuti pembaringan bambu yang dibuat menggantung di atas perapian.
Samar-samar di atas pembaringan itu terlihat sesosok tubuh terbaring. Diam. Seperti mati.
Hampir setengah hari tubuh itu diasapi. Sampai ramuan dalam periuk menguap habis. Sampai matahari sedikit lagi bertengger tegak di atas kepala.
Berlahan uap putih itupun sirna bersama hembusan angin dari jendela kamar yang baru dibuka. Sosok itu mulai terlihat jelas. Laki-laki muda yang cakap. Tetapi seluruh tubuhnya terlihat pucat membiru. Dada dan perutnya tak berombak. Tak bernafas. Mati.
Sungguh sayang anak secakap itu mati muda. Agaknya mati tak normal pula.
Di sudut lain kamar, seorang laki-laki tua menatap sosok di pembaringan itu dengan tatapan iba. Sudah setengah hari tubuh anak muda itu diasapi dengan ramuan obat terbaik yang dimilikinya. Namun warna membiru di tubuhnya tidak juga menghilang tuntas. Tanda lukanya lebih parah dari yang diduga. Bahkan sepertinya selain terluka dalam, juga diracuni.
"Anak muda yang malang," kakek itu bergumam. Suaranya terdengar pasrah. Lelah.
Anak muda itu ternyata belum mati, tapi tidak jauh lagi jaraknya dari malaikat maut. Mungkin saat ini sang malaikat sudah mengusap ubun-ubunnya.
Laki-laki tua itu beranjak keluar dari kamar, membawa keranjang obat. Ada satu lagi cara pengobatan yang akan ia coba. Usaha terakhir. Jika tetap tidak bisa menyembuhkan luka dalam anak muda itu, ia akan menyerahkan nasibnya pada Sang Pemberi Hidup.
Di luar sudah disiapkan perapian yang lebih besar. Diatasnya ada sebuah belanga besar berisi setengah lebih cairan bewarna merah. Cairan itu mulai bergolak. Hampir menggelegak.
Kakek itu menambahkan bahan obat ke dalam belanga. Tapi untuk bahan terakhir, ia tampak ragu-ragu. Bahan itu serupa batu. Hitam pekat.
Tidak terlalu istimewa sebenarnya. tetapi jika seorang ahli obat melihatnya, bulu kuduknya akan segera meremang. Bergidik ngeri.
Itu adalah racun. Inti racun yang sangat keras. Sedikit saja dari batu itu dicampurkan ke dalam sumur, cukup untuk membunuh orang satu kampung!
Tidak ada seorangpun yang berani memegang batu itu dengan tangan telanjang. Racun bisa merasuk lewat kulit. Tidak cukup sehari akan jadi mayat hangus menghitam.
Tapi kakek tua itu sepertinya tidak terpengaruh oleh racun. Seenaknya ia memegang batu hitam itu. Meski terlihat ragu sejenak akhirnya ia melemparkan batu itu ke dalam belanga.
Bau yang khas, harum bercampur amis seketika mengambang di udara. Sejenak orang tua itu melongo, sayang melihat mustika kesayangannya larut dalam air. Namun sejenak kemudian ia masuk lagi ke kamar lalu membopong tubuh anak muda itu keluar. Menceburkannya dalam air belanga yang tengah menggelegak.
Tubuh anak muda itu terbenam sebatas leher. Namun meski direbus dalam air menggelegak, tubuh itu tetap diam tak bergerak. Mungkinkah takdir sudah menggariskannya untuk mati?
Anak muda itu bernama Gading. Ia berasal dari Telaga Pedang. Sebuah perguruan ternama di Tanah Tengah. Awalnya ia diterima sebagai seorang murid. Namun setelah bertahun-tahun tenaga murninya tidak kunjung bisa dibangkitkan. Ia lebih banyak ditugaskan di dapur. Menyiapkan makanan untuk orang-orang perguruan.
Ia tidak bisa menolak. Bagaimanapun ia berkeinginan untuk menimba ilmu di perguruan itu, tanpa tenaga murni, ia hanyalah sampah. Perguruan Telaga Pedang adalah perguruan yang menitik beratkan kepandaian berdasarkan tenaga murni. Makin besar tenaga murni yang dimiliki makin tinggi level yang bisa dicapai.
Gading bukannya tidak berusaha. Dari puluhan orang murid yang seangkatan dengan dirinya, mungkin usahanya yang paling keras. Bila orang berlatih enam jam sehari, ia akan berlatih 12 jam. Bila masing-masing murid ditugaskan mengambil dua ember air dari kaki bukit setiap hari untuk kebutuhan perguruan, ia akan bolak balik mengambil enam ember air.
Namun setelah tiga tahun berlatih keras, ia tidak kunjung bisa membangkitkan tenaga murninya. Bahkan saat guru yang membawanya masuk ke perguruan rela mengorbankan sebagian tenaga murninya untuk disalurkan ke tubuhnya, tenaga murninya tetap tidak terbangun.
Ia seakan ditakdirkan untuk menjadi orang cacat. Sampah.
Apalagi yang bisa ia katakan saat ia diputuskan untuk jadi "orang dapur"? Kadang ia berfikir betapa kejamnya takdir yang digariskan untuknya.
Tapi ternyata takdir tidak hanya sampai di situ. Saat gurunya meninggal tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, kehidupannya seakan-akan terjerumus ke dalam neraka. Neraka yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Setelah gurunya meninggal, murid-murid senior tiba-tiba senang sekali menindasnya. Hampir setiap hari ia digiring ke tempat latihan hanya untuk dijadikan samsak. Mereka yang tidak puas hanya berlatih jurus bersama, menjadikannya sebagai lawan latih tanding.
Apa yang bisa ia andalkan untuk melawan? Ia hanya paham jurus-jurus dasar yang diajarkan untuk murid tingkat dasar yang baru masuk perguruan. Karena tidak mampu membangkitkan tenaga murni, ia tidak diperkenankan untuk belajar lebih banyak jurus.
Saat teman-teman seangkatannya sudah mencapai level empat. Ia masih berada di level dasar. Maka jadilah ia samsak. Memar benjol dihajar setiap hari.
Suatu hari ia dihajar sampai semaput muntah darah. Ia terkapar tidak sanggup berdiri. Ia berharap pingsan saja saat itu. Sialnya rasa sakit di sekujur tubuh membuatnya terus tersadar.
Begitulah pertama kali ia bertemu dengan kakek tua di belakang bukit. Murid-murid yang menghajarnya takut mendapat masalah bila ia mati. Karena itu mereka membawanya agar diobati oleh kakek tua itu.
Dua hari ia terbaring di pondok kakek itu. Dibalut daun-daun dan sejenis salep yang bau minta ampun. Setelah agak mendingan ia kembali ke perguruan. Tetapi baru sehari ia harus kembali ke belakang bukit dengan tubuh penuh luka memar akibat kena hajar.
Berkali-kali hal itu terjadi hingga kakek tua itu tidak heran lagi bila mendapatinya terbaring meringis-ringis di balai-balai bambu saat ia pulang dari mencari obat.
Suatu kali, saat ia harus kembali ke pondok itu karena babak belur. Kakek itu menyiapkan belanga besar dengan cairan penuh ramuan obat-obatan. Ia diharuskan berendam dengan posisi bersila dalam belanga.
Semua luka-lukanya terasa teramat pedih saat ia berendam. Seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Sakitnya bukan alang kepalang. ia harus menggigit potongan kayu agar tidak berteriak-teriak menahan sakit. Ditambah lagi dengan bau obat yang sangat keras membuat perutnya bergolak-golak ingin tumpah. Namun ia tidak berani keluar. Setiap kali mencoba berdiri, kepalanya kena pentung. Benjol.
Siapa sangka proses yang menyakitkan itu akan mengubah jalan nasibnya yang menyedihkan. Memberikan harapan baginya untuk merangkak keluar dari takdirnya sabagai sampah.
Bersambung....