Golok Penyambung Dendam - Triarga.ID | Media Edukasi
arrow_upward

Golok Penyambung Dendam

Rabu, 25 November 2020, 12.13 WIB



"Kalau engkau memang seorang laki-laki jantan. Mari bertanding seratus jurus. Tapi kalau kau ini banci, cepat mundur. Tidak ada tempat bagi banci di sini!"


Tantangan itu membuat darahnya menggelegak. Tubuhnya bergetar hebat menahan api kemarahan yang berkobar-kobar di dadanya. Ia laki-laki. Laki-laki tulen. Laki-laki tidak boleh dihina. Karena apapun. Oleh siapapun.

Sejak terjun ke dunia persilatan, ia sudah menyiapkan selembar jiwanya sebagai taruhan. Mati-hidup tak lagi ia pikirkan. Jangankan hanya tantangan dari Tuan Muda dari wisma pedang phoenik. Bahkan jika ayahnya, Tuan Phoenik sendiri yang turun tangan, ia tak akan surut.

Ia mengangkat caping bambu yang menutupi kepalanya. Matanya menatap Tuan Muda itu sekejap. Dandanan perlente. Wajah bersih seperti seorang perempuan. Namun matanya berkilat setajam mata pedang, menandakan orang yang berisi.

Dari senyum mengejek di sudut mulutnya bisa ditebak, selama ini Tuan Muda itu belum pernah bertemu lawan. Itu adalah senyum dari orang yang sangat percaya pada kepandaian sendiri.

Tatapan laki-laki itu tiba-tiba terbentur pada cahaya kilat di belakang Tuan Muda itu. Cahaya dari mata laki-laki tua yang duduk di panggung utama. Mata dengan aura membunuh yang begitu kental.

Laki-laki itu mengempos semangat. Matanya menatap lurus menghujam bola mata laki-laki setengah tua yang duduk di bangku utama di atas panggung. Seolah mengukur kemampuannya. Sekejap. Hanya sekejap. Namun ia merasakan tekanan luar biasa dari mata itu.

Tatapan orang tua itu setajam sembilu. Serasa menusuk langsung ke jantungnya. Ia merasa darahnya berdesir kencang. Berdenyut-denyut. Sensasi itu membuat tubuhnya bergetar. Bergairah.

Tanpa sadar tangannya bergeser mendekati sepasang gagang golok di pinggangnya. Ia tak kuasa membendung keinginan untuk mencabutnya dan menyerbu ke atas panggung. Mencabik-cabik tubuh laki-laki itu. Menikmati sensasi bilah tajam goloknya menyayat kulit, memutus tulang orang yang paling ditakuti kaum rimba hijau di Tanah Tengah itu. Alangkah akan nikmatnya melihat Tuan Phoenik itu mengerang menahan sakit menjelang ajal.

Tanpa sadar seringai iblis terukir di wajahnya. Seringai bengis dengan hawa membunuh yang kental. Namun hanya sekejap. Sekejap kemudian keningnya berkerut dalam seperti orang tertekan perasaan.

"Ah... Ilmu golok iblis ini telah benar-benar mengubahku menjadi iblis. Selagi belum ada yang tewas di ujung golok, aku harus menghindar dari tempat ini. Biarlah orang mau berkata apa," laki-laki bercaping itu membatin. Ia lalu berbalik meninggalkan tempat itu.

Tuan phoenik menarik nafas lega melihat orang bercaping itu berbalik meninggalkan gelanggang. Meski hanya sekejap seringai iblis itu ternyata telah menggoncang ketenangannya. Ia merasakan hawa yang sangat mengerikan dari orang itu. Hawa yang membuat bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Tidak pernah sepanjang hidupnya merasakan tekanan seperti itu. Seolah-olah berhadapan dengan iblis sendiri.

Namun takdir ternyata berkata lain. Api yang mulai padam itu kembali tersulut hinaan dari mulut Sang Tuan Muda. "Hei Banci! Ya, pergilah. Jangan kotori pemandangan di sini. Enyah!"

Hinaan itu merambat membuat dengung bisikan dari puluhan orang tamu undangan Ulang Tahun Tuan Phoenik itu. Beberapa pentolan dunia hitam yang datang untuk menghormati tuan rumah tertawa sinis.

Mereka sama membatin, orang bercaping itu benar-benar tidak tahu diri. Seperti laron membentur api. Mencari mati sendiri. Setelah mengacau pesta, bagaimana ia bisa berharap bisa pergi begitu enak?

Semua orang rimba hijau di Tanah Tengah tahu belaka Tuan Muda Wisma Phoenik bukan orang yang mudah dihadapi. Peristiwa kecil yang tidak menyenangkan hatinya bisa berubah jadi perang tanding yang berdarah-darah.

Sebenarnya tidak bisa disebut perang tanding. Lebih tepat penghakiman. Siapa yang bermasalah dengannya tidak pernah keluar dengan tubuh utuh. Setidaknya sebelah tangan atau kakinya buntung.

Tuan Muda itu memang sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya. Meski masih berusia 30-an, tetapi saat ini tidak banyak orang yang bisa menandingi kepandaiannya. Bahkan ketua-ketua partaipun mengalah dua-tiga bagian karena perangainya itu.

Sejumlah tokoh golongan putih terlihat geleng-geleng kepala. Mereka memang belum mengenal orang bercaping itu. Namun keberaniannya patut diacungi jempol. Dalam beberapa tahun ke depan, mungkin namanya sudah menjulang di dunia persilatan. Sayang ia mengambil langkah yang salah untuk mengunjuk diri. Mengacau pesta ulang tahun tokoh seperti Tuan Phoenik sama saja dengan cari mati. Mereka yakin, umur orang bercaping itu tidak akan lebih lama dari sepeminuman teh lagi.

Tuan Phoenik terkejut mendengar hinaan dari putranya itu. Biasanya ia tidak akan ambil hati dengan perangai sang anak. Makin sulit dilayani, makin tinggi pamor Wisma Phoenik. Iapun mempercayai kemampuan anaknya. Untuk generasinya, Tuan Muda Wisma Phoenik tidak lagi memiliki lawan sepadan.

Tapi hari ini hatinya berdesir. Ada takut yang tiba-tiba menyelinap. Seringai iblis itu membuat perasaannya tak enak. Apakah itu sebuah pertanda?

Ia tiba-tiba tidak ingin melihat anaknya bertarung. Entah kenapa ia yang biasanya selalu bangga pada kemampuan anaknya, hari ini tiba-tiba saja ragu. Apakah ia mampu menandingi iblis bercaping itu?

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Laki-laki bercaping itu menghentikan langkahnya. Berbalik. Seringai iblis kembali terukir di bibirnya.

"Mulut Tuan Muda Wisma Phoenik ternyata benar-benar  lihai luar biasa. Sayang nyalinya kecil. Hanya berani bertanding seratus jurus. Aku tidak pandai permainan anak perempuan seperti itu. Aku laki-laki. Laki-laki bertaruh nyawa!"

Sekali buka mulut kata yang menghambur dari mulut laki-laki bercaping itu setajam pedang. Menusuk. Hinaan yang diterimanya dikembalikan dua kali lipat. Mana bisa Tuan Muda Wisma Phoenik yang biasa disanjung bisa menerima hal seperti itu?

Muka Tuan Muda itu berubah merah membara. Mulutnya bergetar. Sepertinya ia ingin membalas hinaan itu, tetapi tidak ada kata yang keluar. Tiba-tiba saja tubuhnya mengabur lalu lenyap dari panggung kehormatan, kemudian seperti setan muncul kembali di tengah gelanggang dengan pedang telanjang.

Kecepatan gerak yang tunjukkan Tuan Muda itu benar-benar seperti setan. Banar-benar tidak terlihat. Semua orang di ruangan itu melongo. Mencoba mengukur kepandaian sendiri. Kalau tiba-tiba Tuan Muda itu menyerang dengan kecepatan setan, sanggupkah mereka menghindar? - Bulu remang mereka tiba-tiba berdiri. Bergidik ngeri.

Tuan Phoenik tersenyum melihat kecepatan yang dipertontonkan anaknya. Tekanan dihatinya tiba-tiba lenyap. Kecepatan itu, dirinyapun tidak sanggup menyamai. Apalagi orang bercaping itu. Pertandingan itu mungkin hanya akan terjadi satu gebrakan saja.

Untuk ilmu meringankan tubuh, Tuan Muda Wisma Phoenik punya peruntungan besar. Ia tidak hanya belajar pada ayahnya, tetapi punya guru istimewa. Di Tanah Tengah, mungkin hanya orang itulah satu-satunya yang tidak berani disinggung Tuan Phonik. Siapa menyangka anaknya mendapat peruntungan besar mendapat pelajaran ilmu meringankan tubuh dari "Dewa" itu? Meski tidak diambil murid secara resmi, tetapi gurunya itu menurunkan seluruh kepandaian ilmu meringankan tubuhnya.

Tuan Phoenik sudah meminta anaknya untuk merahasiakan kepandaian itu hingga benar-benar matang. Sekarang melihat kecepatan anaknya, ia tahu sudah waktunya untuk membuat sebuah legenda di rimba persilatan.

Terbayang olehnya orang bercaping itu mati diujung pedang anaknya dalam satu gebrakan saja. Satu gebrakan yang secepat kilat. Terbayang olehnya pertandingan itu akan menjadi perbincangan orang rimba hijau. Menjadi cerita betapa tinggi kemampuan Wisma phoenik. Tidak akan ada lagi yang berani berebut pengaruh dengan keluarganya di Tanah Tengah.

Tapi orang bercaping itu terlihat tidak terpengaruh oleh kecepatan gerak yang membuat semua orang melongo itu. Ia menarik sepasang golok dari sarung kulit harimau di pinggangnya dengan sangat hati-hati, seolah tarikan yang kuat akan membuat golok itu rusak.

Ia seperti sangat menikmati setiap detik yang diperlukan untuk mencabut golok itu. Perhatiannya tumpah sepenuhnya, seolah tidak ada yang lebih berharga di dunia ini daripada golok itu.

Gerakan yang sangat lambat itu membuat semua orang tanpa sadar menahan nafas. Udara tiba-tiba terasa berat, seakan dihimpit oleh kekuatan kasat mata. Ada aura gelap yang padat saat sepasang golok itu tercabut sepenuhnya.

Namun saat semua orang melihat wujud golok itu, tiba-tiba tawa geli pecah di beberapa sudut ruangan. Golok yang diperlakukan seperti harta paling berharga di dunia itu ternyata hanya golok pemotong babi.

Bentuknya petak, tanpa ada ujung yang runcing. Mata golok berkilat tajam, tapi batangnya menghitam. Tidak ada gagang. Batang golok itu dibuat kecil segenggaman di bagian bawah dan dibalut kain putih. Itulah yang berfungsi sebagai gagang. Benar-benar hanya dua bilah golok pemotong babi. Yang agak berbeda, di bagian bawah gagang golok itu tercantol rantai yang saling terkait.  

Tuan Muda Wisma Phoenik menatap sepasang golok itu dengan melongo. Lalu tidak kuasa menahan gelak tawa. Hanya mengandalkan golok pemotong babi mau menantang Wisma Phoenik? Sungguh belum pernah ia menemukan keganjilan seperti itu.

Diam-diam ia memutuskan untuk membunuh orang itu dalam satu gebrakan saja. Ia ingin menjadikan orang itu sebagai tumbal untuk memperlihatkan kemampuannya pada dunia. Sudah saatnya Wisma Phoenik memimpin dunia persilatan Tanah Tengah.

"Nah tuan pemotong babi. Sudah saatnya kita selesaikan urusan ini. Sebutkanlah nama supaya Wisma Phoenik bisa membuatkan batu nisan yang layak," kata Tuan Muda Wisma Phoenik sedikit dikeraskan. Semua orang tahu itu bukan sebuah bentuk kebaikan, hanya basa basi. Namun mereka memang penasaran siapa nama orang bercaping itu.

"Tidak perlu nama. Tidak perlu nisan. Kalau aku mati, campakkan saja ke jurang," jawab orang bercaping itu.

Aura yang mulai terasa longgar kembali padat menyesak. Tuan Muda Wisma Phoenik menudingkan pedangnya ke arah orang bercaping itu. Ia seperti tidak memasang kuda-kuda. Namun dilihat dari manapun, pertahanannya terasa tidak ada celah. Berlahan terlihat ujung pedang itu bergetar tanda tenaga dalam sudah tersalur sempurna. Pedang dan orang menjadi satu.

Laki-laki bercaping itu menekuk kaki kirinya dan menarik kaki kanannya jauh ke belakang. Sekilas kuda-kudanya terlihat seperti busur terentang. Dua tangannya yang memegang golok diturunkan hampir menyentuh lantai. Rantai yang menghubungkan dua golok itu meregang sempurna. Sementara kepalanya menekur. Matanya terpejam.

Wajah Tuan Muda Wisma Phoenik membesi. Kuda-kuda orang bercaping itu sungguh amat meremehkan. Tidakkah ia melihat betapa cepatnya gerakannya tadi? Orang dengan mata yang sempurna saja hanya bisa menangkap bayangan samar, apalagi orang yang menutup mata? Namun ia tidak mau lengah. Mungkin saja orang bercaping itu sedang berusaha memancing amarahnya hingga membuat ia lengah.

Dan ia memang hampir saja terpancing. Ia hampir saja melepaskan ketenangan perasaannya dan menyerang untuk menyudahi pertarungan itu secepatnya. Tuan Muda itu tertawa dalam hati. Mungkin tadi saat amarahnya menggelegak, orang itu memiliki kesempatan satu dari sepuluh untuk menyulitkannya. Mungkin pertarungan itu bisa menjadi lebih panjang sedikit, tiga jurus.

Tapi sekarang dengan hati setenang telaga, orang bercaping itu tidak akan punya kesempatan lagi. Pertarungan itu sudah selesai. Begitu mereka mulai bergebrak ujung pedangnya sudah akan masuk antara tulang iga ketiga dan keempat, tepat menusuk jantung.

Kecepatan dewa. Ia sudah bertekad untuk memperlihatkannya pada dunia persilatan. Ia merasa sekarang adalah saat yang tepat.

Ruangan pesta itu makin senyap. Orang-orang menahan nafas. Otak mereka menaksir ilmu seperti apakah yang akan menyudahi pertarungan itu. Tuan Muda Wisma Phoenik sudah memperlihatkan kecepatannya yang tiada tanding. Sudah pasti ia akan mencari menang dengan kecepatan itu. Dan 9 dari 10, ia sudah pasti memenangkannya. Tapi mereka ingin tahu seperti apa ilmu kecepatan dewa itu.

Dan tibalah penentuan itu. Tuan Muda Wisma Phoenik terdengar menggembor keras. Suaranya tidak saja memekakkan telinga tetapi juga terasa menghentak dada menggetarkan jantung. Tubuhnya mengabur lalu seakan hilang. Hanya selarik sinar perak yang samar melintas secepat meteor. Lalu hening.

Dalam sepersekian detik itu, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak satu matapun yang bisa menangkap kecepatan Tuan Muda Wisma Phoenik. Tidak juga Tuan Phoenik, ayahnya. Mereka hanya tahu apa yang terjadi setelah itu.

Tuan Muda Wisma Phoenik berdiri kokoh membelakangi penonton dengan pedang dijulurkan ke bawah. Ada setetes darah di ujung pedang itu. Sementara laki-laki bercaping itu tidak kelihatan lagi. Hilang seperti asap.

Hening. Senyap. Semua mata memandang pada Tuan Muda itu. Terpana. Semua mengutuk mata sendiri yang tidak sanggup menangkap kecepatan pertarungan itu. Lalu, semua menyadari Wisma Phoenik telah memiliki seorang jago muda yang memiliki kemampuan menjulang langit. Yang mungkin melebihi kelihaian ayahnya, Tuan Phoenik.

Bagaimanapun pertarungan itu akan menjadi legenda. Dibicarakan mungkin hingga bertahun-tahun ke depan. Legenda lahirnya seorang jago muda tanpa tanding. Dan mereka yang ikut menjadi saksi akan bisa berbangga berada di tempat pertarungan itu berlangsung.

Namun...

Tiga helaan nafas setelah pertarungan itu, semua orang yang ada di dalam ruangan itu kembali melongo. Mereka mengusap mata sendiri. Tidak percaya pada pemandangan dihadapannya. Tidak percaya pada kenyataan di depan mata.

Tubuh Tuan Muda itu tiba-tiba roboh secara aneh. Tangan kanannya yang memegang pedang dengan kecepatan dewa itu jatuh. Ya. jatuh. Terpisah dari pundaknya. Tergeletak bersimbah darah di lantai. Lalu tubuhnya rebah. Rebah seperti pohon ditebang. Sementara dua tungkainya masih tegak. Dua kaki itu sudah terpotong. Saat roboh, kepalanya juga terpisah dari badan.

Mereka yang melongo itu tiba-tiba terbeliak ngeri. Mereka semua adalah orang rimba persilatan, tetapi tidak seorangpun yang berfikir manusia bisa mati begitu mengenaskan. Begitu mengerikan.

Beberapa orang yang tidak sanggup melihat pemandangan itu muntah-muntah. Lalu terduduk dengan raut wajah yang sulit dimengerti. Beberapa orang perempuan pelayan Wisma Phoenik meraung histeris lalu pingsan.

Tuan Phoenik mendelong memandang tubuh anaknya yang terpotong-potong mengerikan itu. Matanya kosong. Seolah jiwanya sendiri yang telah terbang ke alam baka. Lalu tiba-tiba ia menjerit tinggi seperti naga terluka hingga akhirnya muntah darah. Tenaga dalam yang ia yakini sepanjang hidupnya salah jalan, membalik. Ia tumbang di hadapan mayat anaknya. Di hadapan harapannya. Di hadapan cita-citanya menjadi pemimpin dunia persilatan. 

Begitulah hidup. Kadang berubah hanya dalam sekejab mata. Kekayaan, kehebatan, kebanggaan bisa lenyap dalam sekelebat dengan sebab sepele. Siapa yang menyangka Wisma Phoenix yang begitu perkasa hancur lebur hanya karena sebuah kalimat ejekan saja?

Lalu apa lagi yang harus disombongkan di dunia ini?

Cerita itu terus diceritakan oleh generasi berikutnya dengan kengerian yang semakin kental menusuk. Keluarga besar di dunia persilatan Tanah Tengah terus dikuntit rasa takut yang tidak pernah hilang. Takut orang bercaping itu tiba-tiba datang di rumahnya. Mencabik-cabik kebanggaan dan keluarga mereka.

Sejak itu, Wisma Phoenik tenggelam dari dunia persilatan. Dua generasi setelah itu orang hanya mengenalnya sebagai korban iblis durjana. Bersamaan dengan itu banyak pula keluarga besar dari dunia persilatan menyatakan mundur, mengasingkan diri.

Anehnya orang bercaping itu juga tidak pernah lagi muncul di dunia persilatan. Orang mengira ia bisa melarikan diri namun akhirnya juga mati mengiringi Tuan Muda Wisma Phoenik.

Namun dendam atas peristiwa itu terus tertanam dan menunggu pembalasan. Dendam pada pemilik golok iblis.***

Padang, 25 November 2020