Tidak ada pula yang bisa menggambarkan seperti apa orang yang telah membunuh anak-anak kesayangan keluarga mereka. Beberapa keterangan simpang siur yang bisa mereka dapat adalah pelakunya seorang yang masih muda, tapi tidak terlalu muda. Pakaiannya warna hitam, banyak tambalan. Itu saja. Bagaimana mungkin sebanyak itu orang, tidak ada yang melihat kejadiannya dengan jelas? Apakah pembunuh itu siluman?
Orang-orang desa itu kemudian jadi tumbal. Tewas mengenaskan. Orang yang tidak tahu apa-apa, yang sedang sial berada di pasar pada waktu tiga tuan muda itu terbunuh. Yang belum sempat melarikan diri seperti penduduk kampung yang lain, mati ditangan orang-orang yang digelari sepuluh keluarga persilatan Tanah Tengah. Pendekar. Pendekar?
Panglima Kala, Guntur Sekepal dan Aki Reot masih tidak habis pikir. Siapa yang begitu berani mati menanam dendam dengan tiga keluarga sekaligus? Sosok yang digambarkan penduduk desa itu tidak merujuk pada satupun tokoh persilatan di Tanah Tengah. Mereka juga yakin tidak ada tokoh dari tujuh keluarga lain yang punya kemampuan setinggi itu. Lalu siapa?
"Apakah ini... mungkin... berkaitan dengan dendam 100 tahun lalu?" - Aki reot bergumam. Cuma bergumam antara terdengar dan tidak. Tapi Panglima Kala dan Guntur Sekepal terperanjat seperti tersengat halilintar. Mereka saling tatap. Sekejab saja, tapi sudah cukup untuk memahami. Selain dendam itu, apa lagi yang bisa masuk akal?
Dendam itu. Ah... bahkan seratus tahun belum bisa menawarkannya?
*****
Konon, sebuah pertarungan besar pernah terjadi di puncak Gunung Dewa di perbatasan utara. Semua perguruan aliran putih dan hitam berlomba-lomba untuk bisa sampai di puncak gunung paling tinggi di Tanah Tengah itu. Puncak Dewa Langit.
Konon lagi, tidak ada seorangpun yang berhasil kembali dari peristiwa itu. Semua seperti menghilang seperti ditelan setan gunung.
Banyak cerita yang kemudian menyebar setelah peristiwa itu. Tidak diketahui lagi mana kabar yang benar dan mana yang bohong karena semua sudah seperti dongeng.
Kabar yang menyebar itu, banyak tokoh persilatan yang mencoba mendaki ditemukan tewas secara misterius. Mayatnya menghitam dan mengeluarkan bau busuk. Mereka seperti dikutuk setan. Baru saja mati meregang nyawa, tubuhnya langsung menghitam dan mengeluarkan bau menusuk.
Banyak yang menduga mereka diracuni, tapi tidak ada yang tau racun seperti apa yang bisa membunuh orang dengan cara begitu mengerikan. Mereka yang mencoba mengurus mayat-mayat itu, ikut-ikutan mati dengan cara yang sama.
Karena itu, meski yang mati itu sanak kadang sendiri, tidak ada yang berani menyentuh mayat-mayatnya, apa lagi menguburnya. Takut ikut dikutuk.
Mayat-mayat itu kemudian bergelimpangan di sepanjang jalur-jalur pendakian. Menebar hawa busuk yang makin tebal.Gunung Dewa itu tiba-tiba berubah menjadi gunung setan. Gunung terkutuk.
Mereka yang tidak punya nyali langsung balik kanan setelah menemukan dua atau tiga mayat. Mereka tidak peduli bila awalnya sudah terlanjur omong besar membanggakan kemampuan sendiri. Mereka menebalkan muka menerima malu ditertawakan orang-orang persilatan.
Malu toh lebih baik dari pada mati?
Mereka yang punya nyali agak lebih besar sedikit, terus mendaki. Bau busuk dijadikan ancang-ancang. Dari pada mencari jalan baru, bukankah lebih baik mengikuti jalan yang sudah pernah dilewati orang? Tidak mungkin orang rimba persilatan Tanah Tengah semuanya hanya kantong beras saja. Pasti banyak orang sakti yang sudah berhasil naik lebih dulu. Siapa tahu nanti bisa bertemu mereka untuk diajak jadi teman perjalanan?
Tapi nasib orang-orang seperti ini sebenarnya sudah bisa diramalkan. Mereka yang mengharap sesuatu hanya dengan bergantung pada orang lain, tidak mungkin selamat sampai puncak. Sampai pinggang gunung saja sudah hebat. Itupun kalau nasib masih berpihak. Sayangnya nasib tidak suka pada orang macam itu.
Bersambung....