Belum pernah seumur hidup mereka mengalami kejadian yang begitu mengerikan. Jangankan mengalami, terlintas saja tidak pernah dalam pikiran. Seorang anak muda yang entah siapa, mampu menahan pukulan mereka bertiga. Bertiga! Sungguh mustahil.
Seorang saja mereka sudah sulit dicari tandingannya. Seorang tuan muda dari 10 keluarga persilatan, siapa pula kaum muda yang bisa menghadapi? Para tetua persilatan saja, tidak akan sanggup demikian tenang menghadapi tiga orang tuan muda keluarga persilatan. Apalagi seorang anak muda. Tapi kejadian itu benar-benar terjadi.
Anak muda itu hanya mengibaskan lengan baju kirinya. Lengan baju yang kosong. Tidak ada tangan. Buntung. Hanya kain yang terlihat berkibar. Tapi saat pukulan mereka bertemu, lengan kosong itu seperti palu magnet. Tenaganya menghentak menjebol dada, tapi tangan mereka seperti lengket, tak bisa dilepas.
Rasa panas luar biasa menyengat tangan yang lengket itu. Panas tak tertahankan. Mereka mencoba menarik tangan sekuatnya. Tak bisa. Tangan itu lengket seperti besi dengan magnet. Mereka berteriak. Tetap tak bisa. Suara mereka lenyap bersama nyawa ke alam baka.
Hingga terjungkal mati, mereka masih belum mau percaya dengan kenyataan itu. Siapa pemuda itu? Pemuda kurang ajar yang berani bertingkah di hadapan tiga tuan muda keluarga persilatan tanah tengah itu?
Tiga tuan muda itu mati. Benar-benar mati. Tiga tuan muda keluarga ternama dari dunia persilatan itu terkapar dengan tubuh hangus menghitam.
Pertarungan itu terjadi di pasar kampung di kaki gunung merapi. Pasar itu cukup ramai. Tapi tidak ada yang sempat memperhatikan pertarungan itu. Semua terjadi begitu cepat.
Orang-orang baru menyadari setelah tiga tubuh tanpa nyawa itu tergeletak di tengah-tengah pasar. Sebagian yang mengenali tiga mayat itu langsung menjerit. Terkejut. Siapa yang percaya tiga tuan muda itu roboh hanya dalam sekali gebrakan? Sekali!
Bahkan orang yang paling disegani dunia persilatan Tanah Tengah saat ini, Sang Raja Pedang, setidaknya butuh belasan jurus untuk bisa mengalahkan satu orang saja dari tiga tuan muda itu.
Kalau maju sekaligus bertiga, sedikitnya butuh limapuluh jurus bagi pendekar tua itu untuk keluar sebagai pemenang. Tapi kenyataan hari itu membuat segala hitung-hitungan lenyap. Lenyap bersama nyawa tunas muda dunia persilatan itu ke alam baka.
Padahal ketiganya sudah angkat nama cemerlang di angkatan muda saat itu. Tidak ada seorangpun di dunia persilatan Tanah Tengah yang meragukan, dua puluh tahun ke depan, tiga pemuda itu akan menjadi pemimpin di keluarga masing-masing. Menjadi tokoh-tokoh utama dunia persilatan Tanah Tengah.
Saat semuanya tersadar dari ketidakpercayaan, orang yang merobohkan tiga tuan muda itu tidak lagi kelihatan. Ia menghilang seperti setan. Pasar di kampung di kaki Gunung Merapi itu seketika heboh oleh teriakan-teriakan panik.
Tiga tubuh yang tergeletak tanpa nyawa itu bisa memancing bencana. Tiga keluarga persilatan ternama akan datang dengan amarah yang membakar dada. Jika tidak ada penjelasan yang bisa membuat mereka puas, bisa-bisa kampung itu lumat, rata dengan tanah.
Dalam beberapa hari saja, kampung itu senyap. Semua orang menghilang. Begitu juga perguruan yang ada di sekitar tempat itu yang tiba-tiba lenyap seolah ditelan bumi.
Kampung itu berubah seperti kampung hantu. Sampai-sampai suara binatangpun tidak terdengar lagi. Yang tertinggal hanya tiga gudukan tanah di tengah-tengah kampung, bekas pasar itu.
Tiga bulan kemudian. Beberapa rombongan keluarga persilatan terlihat mondar-mandir di tempat itu. Kampung yang telah sunyi itu tiba-tiba kembali terlihat ramai. Tapi tidak ada suara tawa yang terdengar. Semua orang berwajah suram, menyeramkan.
Kampung itu menjadi lebih manakutkan dari pada sebuah kampung hantu. Aura membunuh yang kental mengambang di udara. Sekali terpicu, bencana yang tidak terbayangkan bisa saja terjadi.
Pembunuhan tiga tuan muda itu adalah peristiwa paling menggemparkan dalam seratus tahun terakhir, sejak dunia persilatan mengakui sepuluh keluarga sebagai tetua.
Lalu siapa yang begitu berani mengusik naga-naga persilatan itu? Apakah ia tidak tahu kalau kesempatan hidupnya tidak akan sampai 1 dari seribu setelah kejadian itu? Tidak akan ada lagi tempat yang aman baginya di Tanah Tengah maupun Tanah Utara dan Selatan.
Kabar yang beredar kemudian, orang muda yang membunuh tiga tuan muda itu tidak punya penanda yang istimewa. Wajahnya biasa saja. Tidak ada yang sangat istimewa sehingga orang bisa mengingat wajah itu. Semuanya sangat biasa, begitu informasi yang berhasil dikumpulkan keluarga korban setelah sebulan mondar-mandir mencari keterangan.
Tapi bagaimana menyebutnya biasa-biasa saja bila sekali turun tangan langsung membunuh tiga tuan muda dari sepuluh keluarga persilatan Tanah Tengah? Orang biasa bagaimana yang bisa begitu luar biasa?
Bersambung....